Bahan Pakaian Yang Suci
Di antara faktor yang menyebabkan halal tidaknya pakaian adalah kesucian bahannya. Bila bahan untuk pakaian itu adalah benda yang najis, maka pakaian itu tidak boleh dikenakan, khususnya untuk melakukan ibadah ritual seperti shalat, masuk masjid dan lainnya.
Namun pada dasarnya menyentuh benda najis itu sendiri bukan hal yang terlarang, demikian juga memakai pakaian yang terkena najis pun pada dasarnya bukan hal yang dilarang. Yang dilarang dalam hal menyentuh atau terkena najis adalah bila terkait dengan masalah ibadah.
A. Kulit Hewan
Sebagian dari kulit hewan itu ada yang hukumnya najis, sesuai dengan khilaf di antara para ulama.1. Kulit Hewan Yang Halal Dagingnya
Kulit hewan yang halal dagingnya dengan cara matinya disembelih, maka hukumnya bukan termasuk najis. Sehingga tidak menjadi masalah untuk dijadikan sebagai pakaian atau asesorisnya.Dan akan lebih sempurna bila kulit itu kemudian disamak dan diproses sedemikian rupa lewat teknologi perkulitan, sehingga menghasilkan kualitas kulit hewan yang sempurna.
Misalnya kulit sapi dan kambing, boleh dijadikan sepatu, tas, jaket, rompi, celana, ikat pinggang, sarung tangan, dompet, topi, pelapis jok mobil, jam tangan, dan lainnya.
2. Kulit Bangkai Yang Disamak
Bangkai adalah hewan yang mati tanpa lewat penyembelihan dimana hewan itu asalnya memang jenis hewan yang dagingnya halal dimakan.Namun ketika kulit bangkai itu telah disamak dengan benar, maka syariat Islam menegaskan bahwa kulit itu telah kembali menjadi suci.
Rasulullah Saw bersabda :
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,"Saya mendengar Rasulullah
SAW bersabda,"Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci."
(HR. Muslim)
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai) Maka jaket kulit yang terbuat dari bangkai atau dari hewan najis, hukumnya tidak najis lagi setelah disamak. Di masa sekarang banyak orang memakai jaket yang terbuat dari kulit buaya, kulit macan, kulit ular, dan kulit hewan buas lainnya. Namun mazhab Asy-Syafi'iyah tetap mengatakan najis bila kulit babi dan anjing disamak. Dalam pandangan mazhab ini, anjing dan babi adalah hewan yang level kenajiannya berat (mughalladzah), sehingga apa pun dari bagian tubuhnya tidak bisa disucikan lagi.[1]
3. Kulit Hewan Buas
Hewan buas adalah hewan yang najis dimana dagingnya tidak halal dimakan. Kalau pun hewan buas itu disembelih secara syar'i, tetap saja dagingnya haram dimakan dan hukumnya najis.Dan hewan buas yang sudah mati menjadi bangkai, sehingga hukum bagian-bagian tubuhnya adalah najis.
Dalam hal ini umumnya para ulama mengatakan, meski bangkai hewan buas itu najis, namun kalau kulitnya disamak, hukumnya kembali menjadi suci. Dasarnya adalah keumuman hadits tentang penyamakan di atas yang tidak membedakan apakah hewan itu halal dagingnya atau tidak halal.
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa kulit hewan buas boleh dipakai atau dikenakan, asalkan sudah disamak, baik hewan itu mati sebagai bangkai ataupun disembelih. [2]
Namun Al-Qadhi dari mazhab Al-Hanabilah, Al-Auza'i, Abu Tsaur, Ishaq dan Ibnul Mubarak berpendapat lain. Menurut mereka, kita tidak dibenarkan untuk mengambil manfaat dari kulit bangkai hewan buas, walau pun sudah disamak. Dasar pengharamannya adalah sabda Rasulullah SAW :
أَنَّ النَّبِيَّ r نَهَى عَنْ جُلُودِ السِّبَاعِ أَنْ تُفتَرَش
Dari Abi Mulih dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW melarang untuk membentangkan kulit hewan buas. (HR Tirmizy)
لاَ تَصْحَبُ المَلآئِكَةُ رُفْقَةً فِيْهاَ جِلْدُ نَمِرٍ
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Malaikat tidak menemani rombongan yang di dalamnya ada kulit
macan". (HR. Abu Daud) Namun para ulama yang menghalalkan kulit hewan buas untuk dimanfaatkan sebagai pakaian memandang bahwa larangan Nabi SAW di atas sebenarnya bila kulit itu belum disamak.
Dan sebagian yang lain memandang bahwa 'illat keharamannya bukan karena najis, tetapi karena memakai kulit hewan buas itu termasuk israf (boros), karena harganya tentu mahal sekali, dan juga khuyala' (خيلاء) yaitu menunjukkan kesombongan.
Dr. Abdul Kariem Zaidan, penulis kitab Al-Mufashshal fi Ahkam Al-Mar'ah wa Al-Bait Al-Muslim fi As-Syariah Al-Islamiyah, termasuk yang berpendapat bahwa hukum memakai pakaian dari kulit hewan buas bukan karena kenajisannya, melainkan karena faktor boros dan sombong. [3]
[1] Ibnu Abidin jilid 1 halaman 136, Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 78, Al-Mughni 1 66-67
[2] Al-Mughni jilid 1 halaman 67
[3]
Dr. Abdul Kariem Zaidan, Al-Mufashshal fi Ahkam Al-Mar'ah
wa Al-Bait Al-Muslim fi As-Syariah Al-Islamiyah, jilid 3 halaman 308
Sumber: Fiqih Kehidupan.com
Sumber: Fiqih Kehidupan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar