Jumat, 28 November 2014

Hukum Memakai Pakaian Buatan Non-Muslim

Pendapat Para Ahli Agama Tentang Pakaian Buatan Non-Muslim

Di masa modern ini banyak sekali pakaian yang bahannya dibuat oleh non muslim, bahkan bukan hanya bahannya, tetapi pakaian itu sendiri dibuat dari awal hingga siap dipakai oleh konsumen muslim, dimana semua dikerjakan oleh non muslim. Secara hukum, hukum memakai pakaian buat non muslim tidak ada larangan.

1. Rasulullah SAW Memakai Buatan non Muslim

Pakaian yang dibuat oleh non muslim, tidak ada larangan untuk mengenakannya. Mengingat bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat di masa mereka hidup juga mengenakan pakaian buatan orang kafir.
Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kebolehan memakai pakaian buatan negeri non muslim alias buatan orang-orang kafir, termasuk untuk mengerjakan shalat dan lainnya.
Sebab Rasulullah SAW dan para shahabat umumnya mengenakan pakaian buatan negeri-negeri yang saat itu penduduknya masih kafir. [4]
Hal yang sama dikemukakan oleh Ibnul Qayyim, bahwa kebanyakan pakaian yang para shahabat dan Nabi SAW pakai di masa itu buatan dari negeri-negeri sekitarnya, yaitu Yaman, Mesir, Syam, dan lainnya, dimana umumnya saat itu penduduknya masih kafir. Pakaian qibathi (قباطي) pakaian linen yang ditenun oleh bangsa Mesir Qibthi yang notabene adalah pemeluk agama Nasrani hingga sekarang ini. [5]
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa penduduk Yaman, Mesir dan Syam masih non muslim. Dan Rasulullah SAW serta para shahabat mengenakan pakaian buatan dari negeri-negeri tersebut.[6]

2. Memproduksi Pakaian Sendiri

Kalau pun kita menganjurkan agar umat Islam tidak memakai pakaian buatan negeri kafir, alasannya bukan karena adanya larangan secara khusus. Namun alasan utamanya adalah agar negeri-negeri Islam bisa memproduksi sendiri apa yang menjadi kebutuhan mereka, baik makanan maupun pakaian.
Sekarang ini ketergantungan umat Islam atas produk negara-negara lain yang notabene bukan negeri Islam sangat besar. Sehingga membuat umat Islam menjadi sangat bergantung kepada mereka, dan tidak bisa menentukan sikap sendiri dalam banyak hal.
Dalam hal ini, menggunakan produk non muslim, termasuk dalam masalah pakaian, tentu sangat merugikan. Industri pakaian adalah salah satu industri yang sangat menentukan nasib perjalanan suatu bangsa. Setiap manusia butuh pakaian, kalau pakaiannya suatu bangsa harus bergantung kepada bangsa lain, apalagi negeri-negeri non Islam, maka ada banyak kerugian yang diterima.
Di zaman globalisasi ini, Indonesia tidak bisa mengelak dari pertarungan pasar bebas, terpaksa harus menerima impor pakaian dari luar negeri. Mungkin kalau pakaian itu masih baru, masih ada alasan bisa mengangkat gengsi. Tetapi lucunya, justru yang diimpor adalah pakaian bekas.
Dan bangsa Indonesia dirugikan sampai Rp. 18 trilyun gara-gara pakaian bekas impor ini. Hal itu ditegaskan oleh Menperindag Menperindag, Rini MS Soewandi.
Akibat impor pakaian bekas ini, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terus tertekan di pasar domestik. Pasar TPT dalam negeri sekitar Rp. 60 triliun dan kerugian (akibat impor pakaian bekas) sekitar Rp. 18 triliun.

C. Pakaian Bekas Orang Kafir

Pada dasarnya tubuh orang-orang kafir itu suci, dan mereka adalah manusia anak-anak Nabi Adam alahissalam, dimana tubuh mereka, bahkan air liur mereka tidak dimasukkan ke dalam kriteria najis.
Kalau pun ada ungkapan bahwa orang kafir itu najis, maka yang dimaksud dengan najis adalah secara maknawi bukan secara zhahir atau jasadi. Seringkali orang salah mengerti dalam memahami ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis maka janganlah mereka mendekati masjidi al-haram sesudah tahun ini. (QS. At-Taubah : 28)
Dahulu orang-orang kafir yang datang kepada Rasulullah SAW bercampur baur dengan umat Islam. Bahkan ada yang masuk ke dalam masjid. Namun Rasulullah SAW tidak pernah diriwayatkan memerintahkan untuk membersihkan bekas sisa orang kafir.
Juga ada hadits Abu Bakar berikut ini :
أُتِيَ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ بَعْضَهُ وَنَاوَل الْبَاقِيَ أَعْرَابِيًّا كَانَ عَلَى يَمِينِهِ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَشَرِبَ وَقَال : الأَْيْمَنَ فَالأَْيْمَنَ
Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a’rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata’Ke kanan dan ke kanan’. (HR. Bukhari)
Yang dikhawatirkan dari pakaian bekas pakai non muslim adalah bila ada sisa najis yang tertinggal pada pakaian mereka. Mengingat bahwa orang-orang kafir tidak mengenal perbedaan najis dan tidak. Bahkan mereka pun tidak mengenal syariat untuk melakukan istinja' selesai buang air.

1. Makruh

Mazhab Asy-Syafi'iyah memakruhkan umat Islam memakai pakaian bekas orang kafir, dan juga makan dengan alat-alat makan seperti piring dan gelas bekas mereka. Alasannya, karena adanya kekhawatiran bahwa mereka tidak mengerti perbedaan antara najis dan bukan. Sehingga dianjurkan untuk mencuci terlebih dahulu pakaian bekas orang kafir serta alat-alat makan sebelum dipakai.
Celana bekas dipakai orang kafir dan pakaian yang langsung menyentuh aurat mereka, lebih makruh lagi hukumnya, karena lebih besar kemungkinannya terkena najis.
Bila bila seseorang telah yakin bahwa pada pakaian dan alat-alat makan bekas orang kafir tidak ada sisa atau bekas najis, maka hukumnya boleh dan tidak perlu dibersihkan lagi.
Al-Hanabilah mengatakan bahwa bila pakaian bekas itu berupa celana, sarung, baju atau yang langsung bersentuhan dengan aurat mereka, maka shalatnya harus diulangi, bila terlanjur shalat dengan mengenakan pakaian bekas orang kafir.
Ibnu Qudamah menegaskan bila pakaian itu berupa sorban, topi, atau pakaian luar, maka tidak mengapa dikenakan. Karena tidak ada resiko terkena najis, sehingga hukumnya suci dan tidak mengapa.

2. Boleh

Namun Al-Imam Malik dan Abu Al-Khattab mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pakaian bekas orang kafir, sebab selama kita tidak menemukan najis secara nyata, dengan terdapatnya warna, rasa dan aroma, kecuali hanya sekedar syak atau khawatir, maka ada kaidah fiqih yang menyebutkan :
اليَقِيْنُ لاَ يَزُولُ باِلشَّكِّ
Keyakinan itu tidak bisa digugurkan oleh keraguan.

Sumber: Fiqih Kehidupan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar