Beberapa Cara Mensucikan Pakaian Dari Najis
Apabila pakaian seseorang terkena najis, maka pakaian itu tidak
memenuhi syarat untuk dikenakan dalam shalat dan berbagai ibadah ritual
lainnya. Allah SWT berfirman :
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Dan pakaianmu, bersihkanlah. (QS. Al-Muddatstsir :4 )
Untuk itu, bila najisnya masih terlokalisir pada bagian
tertentu, maka pada bagian yang terkena najis itu harus dibersihkan,
baik dengan dicuci atau dengan cara-cara lainnya.
1. Pencucian
Sudah tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa hampir secara
keseluruhan proses pensucian najis dilakukan dengan cara mencuci benda
itu dengan air agar hilang najisnya. Baik najis ringan, sedang
maupun berat.
Dan umumnya para ulama mengatakan bahwa najis itu punya tiga
indikator, yaitu warna, rasa dan aroma. Sehingga proses pensucian lewat
mencuci dengan air itu dianggap telah mampu menghilangkan najis
manakala telah hilang warna, rasa dan aroma najis setelah dicuci.
2. Mengesetkan Alas Kaki
Bila yang terkena adalah alas kaki seperti sepatu atau sendal,
maka salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengesetkan
sandal atau sepatu yang terkena najis ke tanah tanpa tanpa
mencucinya. Dan hal itu dibenarkan dalam syariah Islam, sebagaimana
hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r
صَلَّى فَخَلَعَ نَعْلَيْهِ فَخَلَعَ النَّاسُ نِعَالَهُمْ فَلَمَّا
انْصَرَفَ قَالَ لِمَ خَلَعْتُمْ نِعَالَكُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ رَأَيْنَاكَ خَلَعْتَ فَخَلَعْنَا قَالَ إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي
فَأَخْبَرَنِي أَنَّ بِهِمَا خَبَثًا فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ
الْمَسْجِدَ فَلْيَقْلِبْ نَعْلَهُ فَلْيَنْظُرْ فِيهَا فَإِنْ رَأَى بِهَا
خَبَثًا فَلْيُمِسَّهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيهِمَا
Dari Abi Sa'id Al Khudri berkata bahwasanya Rasulullah SAWshalat
kemudian melepas sandalnya dan orang-orang pun ikut melepas sandal
mereka, ketika selesai beliau bertanya: "Kenapa kalian melepas
sandal kalian?" mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami melihat engkau
melepas sandal maka kami juga melepas sandal kami, " beliau
bersabda: "Sesungguhnya Jibril menemuiku dan mengabarkan bahwa ada
kotoran di kedua sandalku, maka jika di antara kalian mendatangi
masjid hendaknya ia membalik sandalnya lalu melihat apakah ada
kotorannya, jika ia melihatnya maka hendaklah ia gosokkan kotoran itu ke
tanah, setelah itu hendaknya ia shalat dengan mengenakan keduanya."
(HR. Ahmad)
Di dalam hadits yang lain disebutkan juga perihal mengeset-ngesetkan sendal ke tanah sebelum shalat.
إِذَا أَصَابَ خُفَّ أَحَدِكُمْ أَوْ نَعْلَهُ أَذًى
فَلْيَدْلُكْهُمَا فِي الأَْرْضِ وَلْيُصَل فِيهِمَا فَإِنَّ ذَلِكَ
طَهُورٌ لَهُمَا
Bila sepatu atau sandal kalian terkena najis maka keset-kesetkan
ke tanah dan shalatlah dengan memakai sendal itu. Karena hal itu sudah
mensucikan (HR. Abu Daud)
3. Diseret Di Atas Tanah
Salah satu bentuk pensucian yang pernah dilakukan di masa
Rasulullah SAW adalah benda yang terkena najis itu terseret-seret di
atas tanah.
Dalam hal ini kisahnya terjadi pada salah satu istri Rasulullah SAW, yaitu Ummu Salamah radhiyallahuanha.
Beliau bercerita tentang pakaiannya yang panjang menjuntai ke
tanah, sehingga kalau berjalan, ujung pakaiannya menyentuh tanah dan
terserat-seret kemana beliau pergi.
Ketika disebutkan bahwa ujung pakaian itu terkena najis,
Rasulullah SAW menngomentari bahwa najis itu dianggap telah hilang,
karena ujung pakaian istrinya itu selalu menyentuh tanah sambil
terseret.
عَنْ أُمِ سَلَمَةَ t أَنَّهَا قَالَتْ: إِنِّي
اِمْرَأةٌ أُطِيْلُ ذَيْلِي أَمْشِي فيِ المَكَانِ القَذِر. فَقَالَ لَهَا
رَسُولُ اللهِ r : يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
Dari Ummi Salamah radhiyallahuanda berkata,"Aku adalah wanita
yang memanjangkan ujung pakaianku dan berjalan ke tempat yang kotor".
Rasulullah SAW berkata,"Apa yang sesudahnya mensucikannya". (HR. Abu
Daud).
Para ulama dari berbagai mazhab seperti mazhab Al-Hanafiyah,
Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menerima pensucian secara otomatis ini
berdasarkan hadits di atas. [7]
Mazhab Asy-Syafi'iyah, yang menerimanya dengan syarat asalkan
najisnya itu kering, bukan najis yang basah. Kalau najisnya basah,
terseret-seret di atas tanah itu tidak cukup sebagai cara untuk
mensucikan, dan tetap harus dicuci terlebih dahulu.
Mazhab Al-Hanabilah menerima bahwa terseretnya ujung pakaian
yang terkena najis di atas tanah memang mensucikan najis itu, asalkan
najisnya tidak terlalu banyak. Hanya najis yang sedikit saja yang
bisa disucikan dengan cara itu.
4. Pengerikan
Disebutkan di dalam salah satu hadits shahih bahwa Aisyah radhiyallahuanha mengerok (mengerik) bekas mani Rasulullah SAW yang sudah mengering di pakaian beliau dengan kukunya.
كُنْتُ أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُول اللَّهِ إِذَا كَانَ يَابِسًا
Dahulu Aku mengerik bekas mani Rasulullah SAW bila sudah mengering (HR. Muslim)
Hadits ini oleh jumhur ulama dijadikan dasar bahwa hukum air
mani itu najis. Dan kalau kita memakai pendapat jumhur ulama bahwa air
mani itu najis, maka pengerikan atau pengerokan dengan kuku yang
dilakukan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahuanha adalah salah satu cara untuk mensucikan benda yang terkena najis.
Syaratnya, air mani itu sudah kering dan biasanya menyisakan
lilin yang padat dan menempel di pakaian. Pengerikan itu sudah cukup
untuk mensucikan pakaian itu dari najisnya air mani.
Air Mani, Najiskah?
Para ulama memang berbeda pendapat tentang hukum najisnya air
mani. Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, dan
Al-Hanbilah mengatakan bahwa air mani itu hukumnya najis. [8]
Sedangkan mazhab Asy-Syafi;iyah mengatakan bahwa meski semua
benda yang keluar dari kemaluan depan atau belakang itu najis, tetapi
air mani dan turunannya adalah pengecualian. Dan apa yang dikatakan
itu bukan tanpa dasar, sebab kita menemukan bahwa Rasulullah SAW sendiri
yang mengatakan bahwa mani itu tidak najis.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَال :
سُئِل رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَنِيِّ
يُصِيبُ الثَّوْبَ فَقَال : إِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْبُصَاقِ
أَوِ الْمُخَاطِ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ
إِذْخِرٍ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW ditanya
tentang hukum air mani yang terkena pakaian. Beliau SAW menjawab,"Air
mani itu hukumnya seperti dahak atau lendir, cukup bagi kamu untuk
mengelapnya dengan kain. (HR. Al-Baihaqi)
Sumber: Fiqih Kehidupan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar