Makna Jabat Tangan
Bersalam-salaman – dalam bahasa kita – diambil dari bahasa Arab yang bermakna (berjabat tangan). Disebut saling berjabat tangan apabila seseorang meletakkan telapak tangannya pada telapak tangan orang lain (Lihat Lisanul Arab : 7/356 karya Ibnu Manzhur dan al-Mu’jamul Wasith hlm. 516) [http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/01/24/berjabat-tangan-usai-sholat-sunnah-atau-bidah/]
Keutamaan Jabat Tangan
Jabat tangan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan muslim lainnya (dengan ikhlash dan kecintaan) apabila bertemu akan menggugurkan dosa-dosanya. Hal ini sesuai dengan perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
إن المؤمن إذا لقي المؤمن فسلم عليه و أخذ بيده فصافحه تناثرت خطاياهما كما يتناثر ورق الشجر
“Sesungguhnya seorang mukmin yang apabila bertemu dengan mukmin lainnya mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk berjabat tangan, maka pasti akan gugur dosa-dosa mereka berdua, sebagaimana gugurnya daun dari pohonnya” [Shahih, lihat Silsilah Ash-Shahiihahnomor 526, 2004, dan 2692].
Juga perkataan beliau dari Barra’ bin ‘Azib radliyallaahu ‘anhu :
ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان إلا غفر لهما قبل أن يتفرقا
“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu, kemudian mereka berdua saling berjabat tangan, melainkan akan diampuni (dosanya) sebelum keduanya berpisah” [Shahih, lihat Ash-Shahiihah nomor 525]. (http://abul-jauzaa.blogspot.sg/2008/08/berjabat-tangan-seusai-shalat.html)
1. Berjabat tangan dengan wajah yang berseri-seri
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunatkan dalam berjabat tangan dengan wajah yang berseri-seri. Berdasarkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
Janganlah kamu meremekan suatu kebaikkan apapun sekalipun hanya
menjumpai saudaramu dengan wajah yang berseri-seri”. Diriwayatkan oleh
Muslim dari hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu [Shahih Muslim (no.
2626)], dan masih banyak hadits lainnya yang membicarakan tentang hal
ini.”[Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (4/476)]2. Berjabat tangan dengan satu tangan.
Etika ini di ambil dari hadits yang memerintahkan untuk bermushafahah (berjabat tangan) karena itulah makna berjabat tangan secara etimologi.
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Memegang dengan satu tangan dalam berjabat tangan. Sungguh telah terdapat penjelasanya dalam banyak hadits, bahkan asal usul lafadz mushâfahah secara etimologi menunjukkan hal ini. Dalam kamus Lisânul Arab : “al-Mushâfahah” artinya memegang dengan satu tangan, dan begitu juga at-tashâfuh.
Dan mushafahah dalam hadits bermushafahah (berjabat tangan) tatkala berjumpa, termasuk dalam makna ini. Mushafahah adalah perbuatan yang saling melengketkan telapak tangan dengan telapak tangan dan wajah menghadap wajah (saling berhadapan)”.
Kemudian beliau membawakan hadits Hudzaifah diatas tentang keutamaan berjabat tangan seraya berkata : “Seluruh hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang sunnah dalam berjabat tangan adalah memegang dengan satu tangan. Sedangkan apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang berjabat tangan dengan dua tangan adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah.” [Silsilah ash-Shahihah (1/22-23)]
3. Tidak membungkuk Saat berjabat tangan, karena ini dilarang dalam agama.
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata :
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ
مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ قَالَ لَا قَالَ
أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ
وَيُصَافِحُهُ قَالَ نَعَمْ
Seseorang bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh, salah seorang dari kami
berjumpa dengan saudaranya atau temannya, apakah ia menundukkan punggung
kepadanya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak,’ Apakah ia merangkul dan
menciumnya ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak,’
Apakah ia memegang tangannya kemudian ia berjabat tangan dengannya?’
Beliau menjawab, ‘Ya” [HR at-Tirmizi (no.2728). ia berkata: “Hadits hasan”].Imam Nawawi rahimahullah mengatakan “Makruh hukumnya menundukkan punggung dalam segala kondisi bagi sesorang, berdasarkan hadits Anan di atas, “Apakah kami menundukkan punggung” Beliau n menjawab, “Tidak”, dan tidak ada yang menyelisihi hadits ini. Dan jangan kamu tertipu dengan mayoritas orang yang melakukannya seperti orang-orang yang dianggap berilmu atau shâlih dan semisal mereka.” [Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Imam Nawawi (4/635)] {http://almanhaj.or.id/content/3337/slash/0/berjabat-tangan-sunnahkah/}
Kapan Dianjurkan Berjabat Tangan?
Hadits di atas menunjukkan bahwa secara umum disyaria’atkan bagi seorang muslim berjabat tangan dan mengucapkan salam saat berjumpa dengan sesama muslim sebagaimana hadits yang telah jelas diatas, demikian kebiasaan para sahabat seperti yang dikatakan oleh asy-Sya’bi :
“Biasanya para sahabat Nabi jika saling berjumpa, mereka saling berjabat tangan, dan jika datang dari bepergian jauh mereka berpelukan.” (HR. Thobroni dalam al-Ausath : 3/270, Baihaqi : 7/100, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah: 2647.)
Demikian juga disyari’atkan untuk saling berjabat tangan dan mengucapkan salam ketika hendak saling berpisah, sebagaimana keumuman hadits al-Baro’ bin Azib, beliau berkata :
“Termasuk di antara kesempurnaan penghormatan adalah jika engkau menjabat tangan saudaramu.” (Riwayat ini shohih, semua perawinya tsiqoh, lihat Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah 1288).
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Siapa yang meneliti hadits-hadits tentang (anjuran) berjabat tangan ketika saling berjumpa akan menjumpai hadits-hadits tersebut lebih kuat dibandingkan hadits-hadits anjuran berjabat tangan ketika saling berpisah, maka siapa yang mengerti dirinya, akan menarik kesimpulan bahwa saling berjabat tangan yang kedua (saat berpisah) anjurannya tidak sama tingkatannya dengan anjuran berjabat tangan yang pertama (saling berjumpa), yang pertama adalah sunnah, sedangkan yang kedua hanya dianjurkan, adapun perkataan bahwa (berjabat tangan saat berpisah) itu adalah bid’ah, maka perkataan ini tidak benar sebagaimana dalil yang kami sampaikan.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/52) [http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/01/24/berjabat-tangan-usai-sholat-sunnah-atau-bidah/]
Dalam konteks shalat berjama’ah di masjid pun, jabat tangan ini hanya dilakukan ketika memasuki masjid dan terjadi pertemuan antara seseorang dengan yang lainnya. Hal ini sebagaimana tergambar dalam riwayat :
عن عبد الله بن عمر يقول : خرج رسول الله صلى الله عليه
وسلم إلى قباء يصلي فيه قال فجاءته الأنصار فسلموا عليه وهو يصلي قال فقلت
لبلال كيف رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يرد عليهم حين كانوا يسلمون
عليه وهو يصلي قال يقول هكذا وبسط كفه وبسط جعفر بن عون كفه وجعل بطنه أسفل
وجعل ظهره إلى فوق
Dari ’Abdillah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma ia
berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam keluar menuju Masjid
Quba’ dan melakukan shalat di dalamnya. Maka datanglah sekelompok
shahabat Anshar mendatangi beliau dan mereka mengucapkan salam ketika
beliau sedang shalat”. Maka aku (Ibnu ’Umar) berkata kepada Bilaal :
”Bagaimana engkau melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
menjawab salam mereka padahal ketika itu beliau sedang shalat ?”. Maka
Bilal menjawab : ”Seperti ini”. Bilal membuka telapak tangannya. Ja’far
bin ’Aun (perawi hadits ini – menjelaskan apa yang dijelaskan oleh
Bilaal dengan mempraktekkan) membuka telapak tangannya dengan cara
menjadikan telapak tangannya menhadap ke bawah, dan punggung telapak
tangannya menghadap atas” [HR. Abu Dawud no. 927; shahih].
Juga sebagaimana kisah Ka’b bin Malik yang masyhur dimana ia menceritakan :
…..حَتَّى دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رسولُ الله صلى
الله عليه وسلم جَالِسٌ حَوْلَه النَّاسُ ، فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ
اللهِ رضي الله عنه يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَني وَهَنَّأَنِي…..
”….Hingga ketika aku masuk masjid, ternyata
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam sedang duduk dikerumuni oleh
orang-orang. Maka berdirilah Thalhah bin ’Ubaidillah radliyallaahu ’anhu
berlari-lari kecil untuk menjabat tanganku dan mengucapkan selamat
kepadaku…” [HR. Bukhari no. 4156 dan Muslim no. 2769]. (http://abul-jauzaa.blogspot.sg/2008/08/berjabat-tangan-seusai-shalat.html)
Telah kita ketahui bersama bahwa mengucap salam dan berjabat tangan dianjurkan kapan saja ketika sesama muslim saling berjumpa dan hendak berpisah. Sementara itu, tidak diketahui pada seorang pun dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta generasi berikutnya, bahwa mereka usai sholat langsung menyalami orang yang dikanan dan kirinya. Seandainya hal itu dilakukan oleh salah satu dari mereka, niscaya akan dijelaskan oleh para ulama dan akan sampai keterangannya kepada kita – walaupun hanya dengan hadits yang lemah, padahal kenyataannya tidak ada satu pun hadits yang menerangkan hal itu, bahkan banyak para ulama yang menegaskan bahwa hal itu merupakan perbuatan bid’ah. (Lihat al-Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin karya Masyhur Hasan Salman hlm. 293-294) [http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/01/24/berjabat-tangan-usai-sholat-sunnah-atau-bidah/]
Agar hukum masalah ini lebih jelas, berikut kami tampilkan perkatan ‘ulama dari berbagai madzhab
1. ‘Ulama madzhab Hanafiyah
a. Imam Ibnu ‘Abidin dalam kitab Hasyiyah-nya (6/381) berkata :
“Akan tetapi, dapatlah dikatakan bahwa menjadikan hal
itu sebagai rutinitas yang dilakukan setelah selesai shalat yang lima
waktu (itu merupakan satu kesalahan), sebab nanti orang-orang awam akan
meyakini perbuatan itu sebagai suatu amalan yang sunnah yang biasa
dilakukan pada tempat-tempat tersebut. Dan mereka juga akan meyakini
bahwa perbuatan tersebut memiliki kelebihan tertentu dibandingkan
amalan-amalan lainnya. Padahal mereka jelas-jelas menyatakan bahwa
amalan tersebut tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun dari kaum salaf
pada tempat-tempat tersebut (yaitu jabat tangan seusai shalat).
Begitulah juga ketika mereka menyatakan sunnahnya bagi kita untuk
membaca tiga macam surat (Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas di dalam
raka’at terakhir pada) shalat witir, bersamaan dengan itu mereka juga
menganjurkan untuk meninggalkannya sesekali waktu, agar hal tersebut
tidak dianggap wajib hukumnya. Dan telah dinukil dalam kitab Tabyiinil-Mahaarim dari Al-Multaqith; tentang pendapat dibencinya berjabat
tangan setelah selesai shalat dalam keadaan bagaimanapun juga. Hal itu
disebabkan para shahabat tidaklah berbuat hal tersebut, dan hal itu
merupakan sunnahnya kaum Rafidlah” ( = yaitu sebuah kelompok sesat).
b. Syaikh Mullah Ali Al-Qari Al-Hanafy telah berkata :
“Dimana posisi perbuatan ini dalam sunnah yang
disyari’atkan (baca : Mana dalil tentang sunnahnya perbuatan ini – yaitu
berjabat tangan seusai shalat) ? Untuk itulah, maka sebagian ulama kami
telah memakruhkannya (membencinya) bila dilakukan pada saat tersebut (yaitu seusai shalat), dan hal tersebut termasuk perbuatan bid’ah yang tercela” [lihat kitabTuhfatul-Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi 7/427 oleh Al-Mubarakfury].
c. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury berkata setelah menukil perkataan Al-Qaariy dan Al-Hafidh Ibnu Hajar :
”Perkaranya adalah sebagaimana dikatakan oleh Al-Qaariy dan Al-Haafidh” [Tuhfatul-Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi 7/427
oleh Al-Mubarakfury]. {Yaitu beliau menyepakati perkataan Al-Qaariy dan
Al-Haafidh tentang bathilnya pemutlakan pembagian bid’ah menjadi lima
(yaitu bid’ah waajibah, bid’ah muharramah,bid’ah makruuhah, bid’ah mustahabbah, dan bid’ah mubaahah) dan bid’ahnya perbuatan berjabat tangan seusai shalat. Silakan lihat dalam referensi yang telah ditunjukkan.}
2. Ulama madzhab Malikiyyah Imam Ibnul-Hajj Al-Maliki berkata dalam kitabnya Al-Madkhal (2/219) :
“Dan patut baginya untuk
melarang untuk melarang manusia dari melakukan apa yang telah mereka
ada-adakan (dalam agama ini dengan) berjabat tangan setelah selesai
shalat ‘Asar, shalat Shubuh, dan shalat Jum’at. Dan bahkan pada saat ini
mereka juga telah melakukannya pula setelah shalat yang lima waktu.
Semua itu termasuk perbuatan bid’ah (yang terlarang). Adapun
tempat yang benar (yang telah dibenarkan dalam agama) untuk melakukan
jabat tangan itu adalah di saat seorang muslim bertemu dengan saudaranya
(yang muslim). Bukannya di setiap selesai dari shalat. Ketika
agama ini mengajarkan kita demikian, maka hendaklah kita cukup
mengikutinya saja (tanpa menambah-nambah). Maka wajib untuk melarang
mereka dari berbuat hal tersebut. Dan hendaklah orang yang berbuat hal
itu dicela lantaran apa yang telah ia perbuat menyelisihi sunnah” [lihat
juga kitab Tahiyyatus-Salaam fil-Islaam 2/842].
3. Ulama madzhab Syafi’iyyah
a. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata :
“(Perbuatan seperti itu – yaitu berjabat tangan setelah shalat) termasuk perbuatan bid’ah yang dibenci.
Tidak ada asal-usulnya dalam agama ini. Dan wajib bagi setiap orang
yang melakukannya untuk diperingati dalam kali yang pertama dan dihukum
ta’zir pada kali yang kedua” [lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 6/381].
Beliau juga berkata :
“Yang telah ditunjuki dengan
jelas oleh dalil-dalil sunnah, dan juga yang telah diungkapkan secara
jelas oleh An-Nawawi dan yang lainnya adalah bahwa ketika terjadi
pertemuan antara dua orang (muslim), maka disunnahkan atas setiap dari
mereka untuk menjabat tangan saudaranya itu. Dan ketika hal itu tidak
terjadi (yaitu pertemuan antara dua orang muslim) seperti berkumpulnya
mereka dalam satu majelis dan tidak berpisah di antara mereka, maka tidaklah disunnahkan.
Sama halnya dengan ini semua adalah (apa yang biasa diperbuat oleh
kebanyakan orang) yang berjabat tangan seusai shalat, walaupun itu
adalah shalat ‘Ied, atau juga (pertemuan untuk) pelajaran, ataupun juga
hal-hal yang selain dari keduanya, bahkan kapan saja terjadi pertemuan
antara keduanya,…. ketika ada kemungkinan perpisahan antara keduanya,
maka hal itu disunnahkan. Sebaliknya, ketika tidak ada kemungkinan itu,
maka tidak disunnahkan” [Al-Fataawaa Al-Kubraa 4/245].
b. Imam Al-‘Izz bin Abdis-Salaam mencela perbuatan ini dengan perkataannya :
”Berjabat tangan seusai shalat Shubuh dan ’Asar termasuk perbuatan bid’ah.
Kecuali bagi orang yang baru datang dalam sebuah majelis lalu ia
berjabat tangan dengan orang lain sebelum shalat. Sebenarnya, berjabat
tangan merupakan hal yang disyari’atkan ketika seseorang baru datang.
Adalah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ketika shalat usai, beliau
melakukan dzikir-dzikir yang disyari’atkan, beristighfar tiga kali,
kemudian setelah itu beliau baru menyingkir. Dan telah diriwayatkan
bahwasannya beliau berdoa : ”Wahai Tuhanku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan semua hamba-Mu”. Dan segala kebaikan hanyalah ada pada sikap itiiba’ (mengikuti) Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam ” [Fataawaa Al-’Izz bin ’Abdis-Salaam hal. 46-47].
c. Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (pensyarah kitab Shahih Al-Bukhari) telah menyangkal orang yang memperbolehkan perbuatan itu dalam Fathul-Baari (12/324).
4. Ulama madzhab Hanabilah
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitab Majmu’ Fataawaa-nya (23/339) :
Beliau ditanya tentang (hukum) berjabat tangan setelah selesai shalat : “Apakah perbuatan ini termasuk Sunnah atau bukan ?”
Kemudian beliau menjawab : “Alhamdulillah,…. berjabat
tangan setelah selesai shalat itu bukanlah termasuk perbuatan yang
disunnahkan. Akan tetapi hal itu termasuk perbuatan bid’ah. Allaahu a’lam”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar