Shalat merupakan ibadah teragung dalam Islam. Dia termasuk rukun Islam
yang wajib dikerjakan oleh kaum Muslimin dalam segala kondisi, baik
dalam kondisi sakit apalagi sehat, dalam suasana peperangan apalagi
dalam suasana damai. Singkat kata, shalat wajib dikerjakan dalam semua
keadaan. Dalam al-Qur'an disebutkan :
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Sesungguhnya Aku ini adalah Allâh, tidak ada ilah yang diibadahi (dengan
yang hak) selain Aku, maka beribadahlah kepada-Ku dan dirikanlah shalat
untuk mengingat aku. [Thaha/20:14]
Dalam ayat ini, disebutkan bahwa diantara tujuan kaum Muslimin untuk
melaksanakah shalat adalah supaya mengingat Allah Azza wa Jalla. Karena
ini yang menjadi tujuannya, maka segala hal yang berpotensi memalingkan
perhatian dari dzikrullah sebisa mungkin dihindari, seperti shalat di
keramaian, banyak gambar-gambar yang bisa menarik perhatian, atau shalat
didekat hidangan atau shalat dalam keadaan menahan diri dari kebutuhan
tertentu. Kita harus berusaha menciptakan suasana yang kondusif agar
bisa mengingat Allah wa Jalla saat melaksanakan shalat.
Berkenaan dengan pertanyaan di atas, kami memandang bahwa shalat dengan
menggunakan sarung, baju koko, baju biasa, selama pakaian-pakaian
tersebut suci dari najis, bisa menutup aurat, tidak bercorak (berupa
tulisan, gambar), maka itu diperbolehkan. Karena dalam agama kita, tidak
ada ketentuan yang menentukan jenis baju tertentu dalam shalat.
Adapun menggunakan sajadah yang bergambar ka'bah atau masjid atau gambar
lainnya, jika sekiranya hal itu dapat mengganggu kekhusyu'an seseorang,
maka selayaknya itu tidak digunakan. Hal ini, demi menjaga sesuatu yang
sangat penting dalam shalatnya (yaitu menghadirkan hati /khusyu' dalam
melaksanakannya), sebagaimana disebutkan dalam firman Allâh Azza wa
Jalla di atas.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya
tentang hukum menggunakan sajadah bergambar masjid dalam shalat, Beliau
rahimahullah menjawab, "Menurut kami, tidak sepantasnya sajadah yang
bergambar masjid di letakkan di depan imam. Karena sajadah itu bisa
mengganggu dan bisa mengalihkan perhatian dan tentu hal itu akan merusak
shalatnya. Oleh karena itu, ketika Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa
sallam shalat menggunakan kain yang bercorak dan melihat coraknya maka
setelah selesai shalat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي
بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ
صَلَاتِي
Bawalah kain ini ke Abu Jahm dan bawakan kepadaku kain milik Abu Jahm
yang tidak bercorak, karena kain yang bercorak tersebut sempat
melalaikanku dari shalatku (mengganggu kekhusyu'anku) [HR.Bukhâri dan
Muslim dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma]
Jika imam tidak merasa terganggu dengan sajadah tersebut, karena dia
buta atau karena kebiasaan itu sudah berlangsung lama sehingga
perhatiannya tidak tersita atau tidak (tertarik) meliriknya lagi, maka
kami memandang tidak apa-apa menggunakan sajadah pada saat shalat.
[Majmû' Fatâwâ wa Rosâil syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin t
12/362]
Demikian jawaban syaikh tentang penggunaan sajadah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1432H/2011M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
MEMBENTANGKAN SAJADAH PRIBADI DI ATAS SAJADAH MASJID
Oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Pertanyaan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya : Tentang membentangkan sajadah
pribadi di atas sajadah masjid sewaktu hendak shalat, apakah ini
termasuk bid’ah atau bukan?
Jawaban.
Adapun shalat dengan membentangkan sajadah di atas sajadah masjid karena
untuk sengaja atas itu, maka hal ini bukan sama sekali termasuk prilaku
para salafush shalih, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar.
Begitu pula tidak ada seorang pun tabi’in yang melakukan hal tersebut.
Bahkan mereka mengerjakan shalat langsung di atas tanah masjid, jika
cuaca panas, maka mereka menggunakan/ menggelar baju lalu sujud di atas
kain tersebut.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dahulu mengerjakan di
atas khumrah. (yang dimaksud khumrah yaitu sejenis anyaman yang terbuat
dari daun kurma (sejenis tikar kecil). [Hadist shahih dan disebutkan
dalam kitab Abu Dawud 663, Ibnu Khuzaimah (I/110) dan Ibnu Hibban
254-256]
Tidak ada para ulama yang berdebat diperbolehkannya shalat atau sujud di
atas khumrah atau tikar yang tebuat dari unsur tanah. meskipun ada juga
beberapa ulama yang melarangnya atau ada perbedaan dalam hal ini, namun
banyak juga para ulama merukshah, yang (memperbolehkan) menggunakan
bahan seperti kulit binatang atau bulu domba mereka adalah Madzhab
Syafi’i, Ahmad dan madzhab khufah seperti Abu Hanifah dan yang lainnya.
Sedangkan orang yang masih membentangkan sajadah di atas sajadah/ alas
yang telah disediakan oleh masjid termasuk perbuatan bid’ah. Bahkan
diantara mereka (orang yang membentangkan sajadah di atas sajadah
masjid) melakukan hal ini karena penyakit was-was yang sudah sangat
keterlaluan. Mereka telah ragu dengan kesucian masjid yang mungkin telah
dilewati dengan berbagai macam kaki orang.
Padahal di Masjid Al Haram, sudah sering kali dilewati oleh kaum
muslimin sejak dulu, bukan hanya yang lalu lalang (pen) di masjid,
melainkan juga melakukan thawaf di dalam masjid, namun Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri bersama para sahabat dalam
melakuan shalat tetap di atas tanah mesjid yang tentu lebih utama dan
lebih mulia.
[Disalin dari kitab Ishlaahulmasaajid Minalbid’a wal’awaa’id, Penulis
Muhammad Jamaluddin Al Qasimi, Penerbit Almaktab Al Islami-Beirut, Edisi
Indonesia Bid'ah Dalam Masjid hal. 284-285, Penerjemah Wawan Djunedi
Soffandi, S.Ag, Penerbit Pustaka Azzam]
Sumber: almanhaj.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar