Kamis, 04 Desember 2014

Pakaian Wanita dalam Shalat


Pakaian Wanita dalam Shalat

Pakaian wanita saat mengerjakan shalat memiliki aturan tersendiri. Setiap wanita hendaknya memerhatikan pakaiannya ketika shalat, tidak boleh seenaknya, meski shalatnya dilakukan sendirian.
Di masa jahiliah, kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, wanita biasa thawaf di Ka’bah dalam keadaan tanpa busana. Yang tertutupi hanyalah bagian kemaluannya. Mereka thawaf seraya bersyair,

Pada hari ini tampak tubuhku sebagiannya ataupun seluruhnya
Maka apa yang tampak darinya tidaklah daku halalkan

Maka turunlah ayat,
“Wahai anak Adam, kenakanlah zinah (hiasan/pakaian)1 kalian setiap kali menuju masjid.” (al-A’raf: 31) [Sahih, HR. Muslim no. 3028]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Dahulu orang-orang jahiliah thawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang. Mereka melemparkan pakaian mereka dan membiarkannya tergeletak di atas tanah terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut selamanya, hingga usang dan rusak. Demikian kebiasaan jahiliah ini berlangsung hingga kedatangan Islam dan Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan mereka untuk menutup aurat sebagaimana firman-Nya,
“Wahai anak Adam, kenakanlah hiasan kalian setiap kali shalat di masjid.” (al-A’raf: 31)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ عُرْياَنٌ
“Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Ka’bah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1622 dan Muslim no. 1347) [Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 18/162—163]
Hadits di atas selain disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah pada nomor di atas, pada Kitab al-Haj, Bab “Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Baitullah dan tidak boleh orang musyrik melaksanakan haji”, disinggung pula oleh beliau dalam Kitab ash-Shalah, bab “Wajibnya shalat dengan mengenakan pakaian.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam syarahnya (penjelasan) terhadap hadits di atas dalam Kitab ash-Shalah berkata, “Sisi pendalilan hadits ini terhadap judul bab yang diberikan al-Imam al-Bukhari rahimahullah adalah apabila dalam thawaf dilarang telanjang, pelarangan hal ini di dalam shalat lebih utama lagi. Sebab, apa yang disyaratkan di dalam shalat sama dengan apa yang disyaratkan di dalam thawaf, bahkan dalam shalat ada tambahan. Jumhur berpendapat menutup aurat termasuk syarat shalat.” (Fathul Bari, 1/582)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam Tafsir-nya, “Mereka diperintah untuk mengenakan zinah (hiasan) ketika datang ke masjid untuk melaksanakan shalat atau thawaf di Baitullah. Ayat ini dijadikan dalil untuk menunjukkan wajibnya menutup aurat di dalam shalat. Demikian pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama. Bahkan, menutup aurat hukumnya wajib dalam segala keadaan, sekalipun seseorang shalat sendirian, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang sahih.” (Fathul Qadir, 2/200)
Ada perbedaan antara batasan aurat yang harus ditutup di dalam shalat dan aurat yang harus ditutup di hadapan seseorang yang tidak halal untuk melihatnya, sebagaimana ada perbedaan yang jelas antara aurat laki-laki di dalam shalat dan aurat wanita.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mengenakan pakaian di dalam shalat adalah dalam rangka menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, seseorang tidak boleh shalat ataupun thawaf dalam keadaan telanjang, walaupun sendirian di malam hari. Dengan demikian, diketahuilah bahwa mengenakan pakaian di dalam shalat bukanlah karena ingin menutup tubuh (berhijab) dari pandangan manusia. Sebab, ada perbedaan antara pakaian yang dikenakan untuk berhijab dari pandangan manusia dan pakaian yang dikenakan ketika shalat.” (Majmu’ Fatawa, 22/113—114)
Perlu diperhatikan di sini, menutup aurat di dalam shalat tidaklah cukup dengan berpakaian ala kadarnya, yang penting menutup aurat, tidak peduli pakaian itu terkena najis, bau, dan kotor misalnya. Namun, perlu diperhatikan pula sisi keindahan dan kebersihan. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya memerintahkan untuk mengenakan zinah (pakaian sebagai perhiasan) ketika shalat, sebagaimana ayat di atas. Jadi, seorang hamba sepantasnya shalat mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan paling indah, karena dia akan bermunajat dengan Rabb semesta alam dan berdiri di hadapan-Nya.
Demikian secara makna dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Ikhtiyarat (hlm. 43), sebagaimana dinukil dalam asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ (2/145).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah membawakan beberapa syarat pakaian yang dikenakan dalam shalat. Ringkasnya adalah sebagai berikut.
1.    Tidak menampakkan kulit tubuh yang ada di balik pakaian
2.    Bersih dari najis
3.    Bukan pakaian yang haram untuk dikenakan seperti sutera bagi laki-laki, atau pakaian yang melampaui/melebihi mata kaki bagi laki-laki (isbal)
4.    Pakaian tersebut tidak menimbulkan mudarat/bahaya bagi pemakainya. (Lihat pembahasan dan dalil-dalil masalah ini dalam asy-Syarhul Mumti’, 2/148—151)

Bagian Tubuh yang Harus Ditutup

Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang bagian tubuh yang harus ditutup oleh wanita merdeka (bukan budak) dalam shalatnya.
Al-Imam asy-Syafi’i dan al-Auza’i rahimahumallah berkata, ‘Wanita menutupi seluruh badannya ketika shalat kecuali wajah dan dua telapak tangannya.’ Diriwayatkan hal ini dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan ‘Atha rahimahullah.
Lain lagi yang dikatakan oleh Abu Bakr bin Abdirrahman bin al-Harits bin Hisyam radhiyallahu ‘anhu, ‘Semua anggota tubuh wanita merupakan aurat, sampaipun kukunya.’
Al-Imam Ahmad rahimahullah sejalan dengan pendapat ini, beliau berkata, ‘Dituntunkan bagi wanita untuk melaksanakan shalat dalam keadaan tidak terlihat sesuatu pun dari anggota tubuhnya, tidak terkecuali kukunya’.” (Ma’alimus Sunan, 2/343)2
Sebenarnya dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang jelas yang bisa menjadi pegangan, kata asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. (asy-Syarhul Mumti’, 2/156)
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat seluruh tubuh wanita merdeka itu aurat (di dalam shalatnya) kecuali bagian tubuh yang biasa tampak darinya ketika di dalam rumahnya, yaitu wajah, dua telapak tangan, dan telapak kaki. (Majmu’ Fatawa, 22/109—120)
Dengan demikian, ketika seorang wanita shalat sendirian atau di hadapan sesama wanita atau di hadapan mahramnya dibolehkan baginya untuk membuka wajah, dua telapak tangan, dan dua telapak kakinya. (Jami’ Ahkamin Nisa’, 1/333—334)
Walaupun yang lebih utama ialah ia menutup dua telapak kakinya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
Apabila ada laki-laki yang bukan mahramnya, ia menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah3. (asy-Syarhul Mumti’, 2/157).

Sumber: http://asysyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar